Indahnya Berbagi

Jumat, 31 Agustus 2012

Surat Paksa


A. PENGERTIAN SURAT PAKSA
Pengertian Surat Paksa menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 pasal 1 sub 12 yang berbunyi: SURAT PAKSA adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Ciri-ciri Surat Paksa
-
Surat Paksa berkepala "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
-
Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti grosse dari putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim atasan.
-
Yang dapat ditagih dengan Surat Paksa, adalah semua jenis pajak pusat dan pajak daerah yang terdiri dari:
- pajak pusat,
- pajak daerah,
- kenaikan,
- denda (bukan denda pidana),
- bunga,
- biaya
-
Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan oleh Jurusita Pajak pusat dan Jurusita Pajak daerah.
B. SIFAT SURAT PAKSA
Sifat Surat Paksa adalah sebagai berikut:
  1. Berkekuatan hukum yang sama dengan Grosse putusan Hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim atasan
  2. Berkekuatan hukum yang pasti (in kracht van Gewijsde).
  3. Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak (biaya-biaya penagihan).
  4. Dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan/pencegahan.
Apabila pajak yang masih harus dibayar, tidak dilunasi dalam jangka waktu dua kali duapuluh empat jam (2 X 24 jam) sesudah tanggal pemberitahuan SURAT PAKSA kepada penanggung pajak, pejabat segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
Setelah disita, bila penanggung pajak belum juga melunasi utang pajaknya, maka lewat 14 (empatbelas) hari sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, (SPMP) Pejabat membuat pengumuman lelang 14 hari setelah pengumuman lelang WP/PP tidak melunasi utang pajaknya, maka kepada KPP mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Lelang Negara supaya dilaksanakan lelang
C. PENANGGUNG PAJAK
(1)
Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak diwakili, dalam hal:
a.
Badan oleh pengurus,
b.
Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau Badan yang dibebani dengan pemberesan,
c.
Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya,
d.
Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
(2)
Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
(3)
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.
(4)
Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
Apabila Jurusita Pajak tidak dapat menemukan Wajib Pajak dengan berbagai alasan, maka ia harus berupaya untuk menemukan apa yang disebut sebagai penanggung pajak.
Wajib Pajak
Penanggung Pajak
1.
Badan
1.
Pengurus, Termasuk orang yang nyata-nyata berwenang ikut menentukan kebijaksanaan atau mengambil keputusan dalam perusahaan
2.
Badan dalam pembubaran atau pailit
2.
Orang/Badan yang dibebani dengan pemberesan
3.
Warisan yang belum dibagi
3.
Salah seorang ahli waris pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya
4.
Anak yang belum dewasa/orang yang berada dalam pengampuan
4.
Oleh wali atau pengampuannya
D. SAAT PENERBITAN SURAT PAKSA
Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 dinyatakan bahwa Surat Paksa diterbitkan apabila :
(1)
Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
(2)
Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau
(3)
Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat, Surat Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan dan mempunyai kekuatan eksekutorial serta mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa yang asli.
E. PEMBERITAHUAN SURAT PAKSA OLEH JURUSITA
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Pasal 10 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 berbunyi sebagai berikut :
-
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
-
Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Jurusita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa.
-
Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
a.
Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan;
b.
Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
c.
Salah seoarang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau
d.
Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
-
Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
a.
Pengurus, kepala perwakilan , kepala cabang, penanggung jawab , pemilik modal baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau
b.
Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila jurusita pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf a
-
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Hakim Komisaris atau Bali Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi. Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau likuidator.
-
Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa dimaksud.
-
Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat.

F. PELAKSANAAN PEMBERITAHUAN SURAT PAKSA
1.
Jurusita Pajak mendatangi tempat tinggal tempat kedudukan Wajib Pajak/Penanggung Pajak dengan memperlihatkan tanda pengenal diri. Jurusita Pajak mengemukakan maksud kedatangannya yaitu memberitahukan Surat Paksa dengan Pernyataan dan menyerahkan salinan Surat Paksa tesebut.
2.
Jika Jurusita Pajak bertemu langsung dengan Wajib Pajak/Penanggung Pajak minta agar WP/PP memperlihatkan surat-surat keterangan pajak yang ada untuk diteliti:
-
Apakah tunggakan pajak menurut surat ketetapan pajak cocok dengan jumlah tunggakan yang tercantum dalam Surat Paksa.
-
Apakah ada Surat Keputusan Pengurangan/Penghapusan.
-
Apakah ada kelebihan pembayaran dari tahun/jenis pajak lainnya yang belum diperhitungkan.
3.
Kalau Jurusita Pajak tidak menjumpai Wajib Pajak/Penanggung Pajak maka salinan Surat Paksa tersebut dapat diserahkan kepada:
-
Keluarga Penanggung Pajak atau orang bertempat tinggal bersama Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang akil baliq (dewasa dan sehat mental).
-
Anggota Pengurus Komisaris atau para pesero dari Badan Usaha yang bersangkutan atau;
-
Pejabat Pemerintah setempat (Bupati/Walikota/Camat/Lurah) dalam hal mereka tersebut pada butir a dan b diatas juga tidak dijumpai.
-
Pejabat-pejabat ini harus memberi tanda tangan pada Surat Paksa dan salinannya, sebagai tanda diketahuinya dan menyampaikan salinannya kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang bersangkutan.
-
Jurusita Pajak yang telah melaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa, harus membuat laporan pelaksanaan Surat Paksa (bentuk KP.RIKPA 4.9-97)
4.
Kalau Penanggung Pajak tidak diketemukan di kantor, maka Jurusita Pajak dapat menyerahkan salinan SP kepada:
-
seseorang yang ada di kantornya (salah seorang pegawai),
-
seseorang yang ada di tempat tinggalnya (misalnya: istri, anak atau pembantu rumahnya).
5.
Sebaliknya apabila Penanggung Pajak tidak dikenal/tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal perusahaan sudah dibubarkan/tidak mempunyai kantor lagi, Surat Paksa (salinannya) ditempelkan pada pintu utama kantor Pejabat di mana penanggung pajak/wajib pajak semula berdomisili. Dapat juga Surat Paksa disampaikan melalui Pemda setempat, mengumumkan melalui media masa atau cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
G. PENOLAKAN TERHADAP SURAT PAKSA
-
Adakalanya Penanggung Pajak menolak menerima SP dengan berbagai alasan. Apabila alasan penolakan adalah karena kesalahan SP itu sendiri, maka penyelesaiannya adalah seperti yang telah diuraikan pada butir 5 di atas.
-
Apabila Jurusita setelah memberikan keterangan seperlunya Penanggung Pajak atau wakilnya tetap menolak maka Salinan SP tersebut dapat ditinggalkan begitu saja pada tempat kediaman/tempat kedudukan Penanggung Pajak atau wakilnya, dengan demikian SP dianggap telah diberitahukan/disampaikan (Undang-Undang  Nomor 19 Tahun 1997 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 10 Ayat 11).
H. BIAYA PENYAMPAIAN SURAT PAKSA
Menurut KEP - 01/PJ.75/1994 tanggal 14-1-1994, besarnya biaya penyampaian Surat Paksa, sebagai berikut:
-
Biaya Harian Jurusita
= Rp
10.000,-
-
Biaya Perjalanan
= Rp
15.000,-


____________

Jumlah
=Rp
25.000,-


____________

I. PENENTANGAN TERHADAP SURAT PAKSA
Surat Paksa dapat ditentang apabila:
  1. Surat Paksa tidak dapat disampaikan/diberitahukan oleh seorang petugas Jurusita Pajak yang telah disumpah.
  2. Surat Paksa dikirim melalui pos, sekalipun tercatat
  3. Surat Paksa tidak ditandatangani oleh yang berwenang, dalam hal ini oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak apabila wajib pajak/penanggung pajak menemukan salah satu unsur formil sebagaimana tersebut di atas, maka ia berhak untuk menentang (menolak) Surat Paksa tersebut.
  4. Jurusita Pajak belum disumpah di hadapan pejabat.
Dalam beberapa hal Hakim Pengadilan Negeri masih diperlukan peran sertanya, antara lain:
  1. Jika ada concursus/berbarengan kepentingan antara fiskus dan kreditur lain terhadap wajib pajak/penanggung pajak mengingat kepentingan semua pihak.
  2. Jika ada sanggahan/gugatan tentang barang-barang yang telah disita fiskus terhadap pihak ketiga yang bukan WP/PP.
Begitu juga jika nantinya seiring dengan pelaksanaan sanksi penyanderaan badan, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 JO Undang-Undang  Nomor 19 Tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan Surat Paksa.


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : SE - 29/PJ/2012 TENTANG KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : SE - 29/PJ/2012

TENTANG

KEBIJAKAN PENAGIHAN PAJAK

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan tindakan penagihan aktif dan manajemen administrasi piutang pajak sebagai upaya peningkatan kinerja dan pencapaian target pencairan piutang pajak tahun 2012, diperlukan perencanaan penagihan yang terstruktur, tindakan penagihan yang profesional sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, dan pengawasan serta evaluasi penagihan yang intensif, melalui penerapan prioritas dan strategi tertentu yang didukung oleh manajemen administrasi penagihan yang andal. Oleh karena itu, ditetapkan kebijakan penagihan pajak tahun 2011 sebagai berikut:

I.Target Pencairan Piutang Pajak dan Indikator Kinerja Utama
A.Komposisi dan Dasar Penetapan Target Pencairan Piutang Pajak
1.Target pencairan piutang pajak 2012 meliputi Piutang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
2.Dasar penetapan target pencairan piutang pajak mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Estimasi pencairan atas saldo awal piutang pajak yang mempertimbangkan kualitas piutang pajak yaitu lancar, kurang lancar dan diragukan serta memperhatikan besaran penyisihan piutang pajak tak tertagih, dan
  2. Estimasi pencairan atas ketetapan yang terbit pada tahun berjalan berdasarkan persentase rata-rata pencairan piutang pajak yang dibayar di atas 30 hari atau setelah jatuh tempo pembayaran atas ketetapan yang terbit pada tahun berjalan selama tiga tahun terakhir.
3.Alokasi Target Pencairan Piutang Pajak
Untuk efektivitas pencapaian target pencairan, pengukuran dan evaluasi kinerja penagihan, serta menghindari akumulasi beban tugas pada akhir tahun, maka pencapaian target pencairan piutang pajak ditetapkan sebagai berikut:
TriwulanAkumulasi Persentase Pencapaian Target
I25%
II55%
III85%
IV100%
B.Indikator Kinerja Utama
1.Indikator Kinerja Utama (IKU) terkait penagihan pajak di tingkat Kementerian Keuangan sebagaimana tertuang dalam Kontrak Kinerja tahun 2012 yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak dan Menteri Keuangan adalah IKU Persentase Pencairan Piutang Pajak, yang dihitung dengan formula:
Jumlah pencairan piutang pajak
Jumlah piutang pajak awal tahun
a.Jumlah pencairan piutang pajak adalah seluruh pembayaran dan pengurangan atas piutang yang terbit sebelum tahun berjalan, yang terdiri dari:
1)Pembayaran melalui SSP;
2)Pembayaran melalui Pbk;
3)Pengurangan akibat SK Pembetulan/Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi, dan SK Pengurangan atau Pembatalan SKP yang tidak benar;
4)Pengurangan akibat SK Keberatan, Putusan Banding dan Peninjauan Kembali.
5)Pengurangan akibat sebab lain-lain selain hasil rekonstruksi saldo awal sepanjang didukung dengan Berita Acara Penyesuaian dan dokumen pendukung yang memadai.
b.Jumlah piutang pajak awal tahun adalah saldo awal sesuai dengan hasil rekonsiliasi piutang pajak nasional untuk tujuan penyusunan Laporan Keuangan Direktorat Jenderal Pajak Tahun Anggaran 2010 setelah dikurangi dengan piutang PBB Migas, piutang PBB yang dialihkan dan piutang yang masuk dalam kategori macet sebagaimana terdapat dalam Laporan Umur, Kriteria Kualitas, Penyisihan, Usulan Penghapusan dan Penghapusan Piutang Pajak.
2.KPP menyampaikan laporan capaian IKU tiap triwulan paling lambat tanggal 5 bulan berikut setelah berakhirnya masing-masing triwulan.
3.Kanwil DJP agar menelaah kembali dan melakukan kompilasi laporan capaian IKU masing-masing KPP di wilayah kerjanya, kemudian mengirimkan kompilasi tersebut ke Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan paling lambat tanggal 7 bulan berikut setelah berakhirnya masing-masing triwulan.
II.Prioritas, Strategi, dan Monitoring Tindakan Penagihan
A.Prioritas Tindakan Penagihan dan Prognosis Pencairan Piutang Pajak
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.09/2008 tentang Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Departemen Keuangan maka prioritas dan strategi tindakan penagihan berlandaskan pada Manajemen Risiko. Manajemen Risiko adalah pendekatan sistematis untuk menentukan tindakan terbaik dalam kondisi ketidakpastian. Risiko adalah segala sesuatu yang berdampak negatif terhadap pencapaian tujuan yang diukur berdasarkan kemungkinan dan dampaknya. Manajemen risiko penagihan pajak diterapkan dalam menentukan prioritas tindakan penagihan untuk membantu pencapaian sasaran strategis fungsi penagihan pajak. Analisis risiko terhadap ketidaktertagihan piutang pajak merupakan bagian dari manajemen risiko penagihan pajak.
Dalam rangka menetapkan prioritas tindakan penagihan pajak maka :
1.KPP diwajibkan melakukan Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak dengan berpedoman pada Tabel Parameter Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
2.Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak dituangkan dalam Kertas Kerja Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak dengan menggunakan format pada Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
3.Kertas Kerja Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak adalah kertas kerja yang memuat analisis terhadap karakteristik piutang pajak dan karakteristik Wajib Pajak-nya untuk menilai risiko ketidaktertagihan piutang pajak;
4.Kertas Kerja Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak dibuat minimal satu kali dalam satu tahun dan dievaluasi dalam tahun berjalan. Kertas Kerja Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak merupakan bagian dari Kertas Kerja Penagihan (KKP);
5.Pada prinsipnya Kertas Kerja Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak wajib dibuat untuk seluruh Wajib Pajak yang memiliki hutang pajak yang signifikan, namun untuk tahun 2012 hanya dibuat untuk 100 Wajib Pajak yang memiliki utang pajak terbesar;
6.KPP mengelompokkan 100 Wajib Pajak tersebut berdasarkan total skor dari Kertas Kerja Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak dan menjadi dasar skala prioritas tindakan penagihan pajak. Pengelompokan Wajib Pajak tersebut adalah sebagai berikut :
a.Prioritas I:kelompok Wajib Pajak yang memiliki risiko ketidaktertagihan piutang pajak rendah (total skor > 70),
b.Prioritas II:kelompok Wajib Pajak yang memiliki risiko ketidaktertagihan piutang pajak sedang (40 < total skor < 70),
c.Prioritas III:kelompok Wajib Pajak yang memiliki risiko ketidaktertagihan piutang pajak tinggi (total skor < 40),
7.Berdasarkan Kertas Kerja Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak atas 100 Penunggak Pajak terbesar tersebut, KPP menyusun Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak (100 Wajib Pajak) dengan menggunakan format pada Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
8.Khusus untuk Wajib Pajak dalam Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak yang memiliki piutang pajak yang akan daluwarsa dalam tahun berjalan maka Wajib Pajak tersebut dimasukkan dalam kelompok prioritas I dengan mengabaikan total skor yang dimiliki;
9.KPP wajib membuat Prognosis Pencairan Piutang Pajak dan Rencana Kegiatan Penagihan dengan menjadikan Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak sebagai acuan utama;
10.Prognosis Pencairan Piutang Pajak dan Rencana Kegiatan Penagihan dibuat dengan menggunakan format pada Lampiran IV dan V Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
11.Prognosis Pencairan Piutang Pajak dan Rencana Kegiatan Penagihan tersebut agar disampaikan ke Kantor Wilayah (Kanwil) DJP atasannya untuk selanjutnya Kanwil DJP menyampaikan ke Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dengan menggunakan format pada Lampiran VI dan VII Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
12.Laporan Realisasi Prognosis Pencairan Piutang Pajak dilaporkan ke Kanwil atasannya setiap tanggal 5 bulan berikutnya dengan menggunakan format pada Lampiran VIII Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
13.Terhadap Wajib Pajak yang tidak termasuk dalam Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak (100 Wajib Pajak) akan tetapi utang pajaknya akan daluwarsa dalam tahun berjalan maka tindakan penagihan pajak tetap dilakukan.
B.Strategi Tindakan Penagihan pada Kantor Pelayanan Pajak
1.Penyusunan Kertas Kerja Penagihan (KKP)
Dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan dan monitoring tindakan penagihan maka KPP wajib menyusun Kertas Kerja Penagihan (KKP). Kertas Kerja Penagihan (KKP) adalah kertas kerja yang disusun dalam rangka penagihan piutang pajak sebagai dokumentasi atas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penagihan pajak.
a.Kertas Kerja Penagihan (KKP) terdiri dari :
1)Kertas Kerja Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak (KKARKPP);
2)Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak (DPTPP);
3)Prognosis Pencairan Piutang Pajak;
4)Rencana Kegiatan Penagihan;
5)Laporan Realisasi Prognosis Pencairan Piutang Pajak;
6)Kertas Kerja Monitoring Piutang Pajak yang akan Daluwarsa.
b.Dalam rangka penyusunan Kertas Kerja Analisis Risiko Ketidaktertagihan Piutang Pajak, KPP wajib membuat profil Wajib Pajak dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1)mendokumentasikan tindakan penagihan yang telah dilakukan (contoh: foto situasi pada saat memberitahukan Surat Paksa, foto situasi pada saat melakukan penyitaan, foto aset yang disita);
2)mengkonfirmasi kebenaran data aset kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak atau pihak terkait supaya lebih efektif dalam tahapan penagihan selanjutnya;
3)mengumpulkan data dan informasi tentang Wajib Pajak/Penanggung Pajak dari media cetak/online/elektronik dan media lainnya serta mendokumentasikan hasilnya (contoh : print out informasi yang diperoleh dari internet, foto-foto aset, foto Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
4)melakukan koordinasi antarseksi di KPP dalam rangka penyusunan profil Wajib Pajak tersebut;
5)mengumpulkan data dan informasi dari pihak ketiga, antara lain :
a)Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk mendapatkan copy Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk atas Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
b)Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mendapatkan data kepemilikan aset tanah dan/atau bangunan atas Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
c)Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan copy akta pendirian dan perubahan pengurus perusahaan (Penanggung Pajak);
d)Notaris untuk mendapatkan copy akta pendirian dan perubahan pengurus perusahaan (Penanggung Pajak);
e)Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk mendapatkan data perizinan usaha;  
f)Dinas Tenaga Kerja untuk mendapatkan data tenaga kerja orang asing sebagai Penanggung Pajak;
g)Bursa Efek Indonesia untuk mendapatkan data atas Wajib Pajak yang telah masuk bursa (go public);
h)Instansi/lembaga atau badan usaha lainnya.
c.Profil Wajib Pajak disusun dengan menggunakan format pada Lampiran IX Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
2.Strategi Umum Penagihan atas Piutang Pajak
a.KPP melaksanakan tindakan penagihan dengan mengacu pada Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak;
b.KPP melakukan himbauan dan komunikasi intensif kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
c.KPP mengintensifkan penelusuran keberadaan aset Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
d.KPP memprioritaskan tindakan penyitaan atas harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank, dengan terlebih dahulu melakukan pemblokiran rekening Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
e.KPP segera mengupayakan penyitaan atas harta kekayaan milik Wajib Pajak/Penanggung Pajak lainnya;
f.Dalam hal terdapat indikasi Penanggung Pajak sering bepergian ke luar negeri maka KPP mengusulkan pencegahan Penanggung Pajak bepergian ke luar negeri;
g.Apabila setelah dilakukan tindakan penagihan sebagaimana tersebut di atas utang Wajib Pajak/Penanggung Pajak belum lunas maka KPP melakukan pemanggilan kepada Penanggung Pajak dengan tujuan untuk lebih memastikan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak;
h.Pemanggilan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf g, dijadwalkan secara terencana dan dapat dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Kanwil DJP atasannya;
i.Dalam hal Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak menunjukkan itikad baik dalam melunasi utang pajaknya, maka KPP dapat mengusulkan penyanderaan;
j.Usulan penyanderaan sebagaimana dimaksud pada huruf i) dilakukan selektif dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, antara lain :
1)Memenuhi persyaratan kualitatif dan kuantitatif  sebagaimana diatur dalam UU PPSP;
2)Status upaya hukum atas ketetapan pajak sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht);
3)Tindakan penagihan telah dilakukan secara optimal, dan penyanderaan merupakan upaya penagihan terakhir;
4)Terdapat validitas data mengenai status/legalitas Penanggung Pajak dalam kedudukannya selaku Penanggung Pajak suatu badan usaha;
5)Data dan dokumen penagihan lengkap dan akurat;
6)Terdapat data yang akurat mengenai likuiditas Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
7)Telah dilakukan pengamatan terhadap Penanggung Pajak.
k.Terhadap Wajib Pajak yang tidak termasuk dalam Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak, KPP menindaklanjuti tindakan penagihan dalam hal terdapat data atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak/Penanggung Pajak dapat melunasi utang pajaknya.
3.Strategi Penagihan atas Piutang Pajak yang Akan Daluwarsa dalam Tahun Berjalan
a.KPP melakukan inventarisasi piutang pajak yang akan daluwarsa dalam tahun berjalan dan dituangkan dalam Kertas Kerja Monitoring Piutang Pajak yang Akan Daluwarsa dengan menggunakan format pada Lampiran X Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
b.Atas hasil inventarisasi sebagaimana tersebut dalam huruf a, KPP agar segera:
1)melakukan koordinasi secara intensif dengan pihak lain dalam rangka penelusuran terhadap keberadaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak dan asetnya;
2)melakukan tindakan penagihan secara intensif dan optimal.
4.Strategi Penagihan atas Piutang pajak yang Wajib Pajaknya Memiliki Tanda-Tanda Kepailitan, Dalam Proses Pailit, atau Telah Selesai Proses Kepailitannya
a.Dalam hal terdapat tanda-tanda kepailitan, seperti telah terdapat putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), pemberitaan media massa, atau informasi lainnya maka tindakan penagihan yang sedang dilaksanakan segera dimaksimalkan sebelum terdapat putusan pailit, dan dalam hal Surat Paksa belum diberitahukan, terlebih dahulu dilakukan penagihan seketika dan sekaligus;
b.Dalam hal KPP memperoleh informasi mengenai Wajib Pajak yang telah dipailitkan dengan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri maka informasi tersebut harus segera ditindaklanjuti dengan :
1)Mengirimkan surat kepada Kurator dengan tembusan Hakim Pengawas, Kanwil DJP, Direktorat Peraturan Perpajakan II, dan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan yang menginformasikan :
a)Jumlah seluruh piutang pajak dengan melampirkan salinan Surat Paksa;
b)Ketentuan yuridis perpajakan yang berlaku antara lain Pasal 21 UU KUP, dan Pasal 10 ayat (5) UU PPSP;
c)Kedudukan negara yang memiliki hak mendahulu kepada Kurator dan Hakim Pengawas.
2)Menghadiri rapat verifikasi pajak dan/atau pencocokan piutang dengan tujuan memastikan kembali kepada Kurator dan Hakim Pengawas mengenai besarnya piutang pajak Wajib Pajak yang dinyatakan pailit;
3)Melakukan upaya hukum berupa keberatan, kasasi dan/atau peninjauan kembali, dalam hal KPP mendapat pembagian harta pailit yang tidak sesuai dengan jumlah piutang pajak Wajib Pajak/Penanggung Pajak.
c.Setelah proses pemberesan harta pailit Wajib Pajak telah selesai namun piutang pajak Wajib Pajak belum seluruhnya terbayarkan dari harta pailit, maka KPP wajib melakukan penagihan pajak secara optimal terhadap Penanggung Pajak Wajib Pajak pailit tersebut;
d.Dalam menindaklanjuti dan menangani proses perkara kepailitan sebagaimana tersebut dalam huruf a, b, dan c, KPP berkoordinasi dengan SubBagian Bantuan Hukum dan Pelaporan Kanwil DJP atasannya dan melaporkan perkembangannya kepada Direktorat Peraturan Perpajakan II serta Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
5.Strategi Penagihan atas Piutang Pajak yang Wajib Pajaknya Memiliki Tanda-Tanda Akan Dilikuidasi/Dibubarkan, atau Dalam Proses Likuidasi/Dibubarkan :
a.Dalam hal terdapat tanda-tanda Wajib Pajak akan dilikuidasi/dibubarkan, diantaranya Wajib Pajak tidak lagi melaksanakan kegiatan usaha, terdapat penghentian hubungan kerja kepada sejumlah besar buruh/karyawan, berita media massa dan/atau informasi lainnya maka tindakan penagihan yang sedang dilaksanakan segera dimaksimalkan sebelum terdapat likuidasi atau pembubaran. Dalam hal Surat Paksa belum diberitahukan, terlebih dahulu dilakukan penagihan seketika dan sekaligus;
b.Dalam hal terdapat informasi mengenai Wajib Pajak yang dilikuidasi/dibubarkan maka informasi tersebut harus segera ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat kepada Tim likuidasi yang menginformasikan :
1)Jumlah seluruh piutang pajak dengan melampirkan salinan Surat Paksa,
2)Ketentuan yuridis perpajakan yang berlaku antara lain Pasal 21 UU KUP, dan Pasal 10 ayat (5) UU PPSP,
c.Setelah proses likuidasi berakhir dan atas piutang pajak Wajib Pajak belum seluruhnya terbayarkan dari aset Wajib Pajak likuidasi maka KPP wajib melakukan penagihan pajak secara optimal terhadap Penanggung Pajak;
d.Dalam menindaklanjuti dan menangani proses perkara likuidasi/pembubaran sebagaimana tersebut di atas, KPP berkoordinasi dengan SubBagian Bantuan Hukum dan Pelaporan Kanwil DJP atasannya dan melaporkan perkembangannya kepada Direktorat Peraturan Perpajakan II serta Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
6.Strategi Penagihan atas Piutang Pajak yang Wajib Pajaknya Terkait Dalam Aksi Korporasi Berupa Penggabungan dan Peleburan Usaha
a.Yang dimaksud dengan aksi korporasi berupa penggabungan dan peleburan usaha adalah aksi korporasi yang melibatkan dua atau lebih Wajib Pajak yang terdaftar pada satu atau lebih KPP, dimana aksi korporasi tersebut menyebabkan satu Wajib Pajak tetap berdiri secara hukum atau menyebabkan munculnya satu Wajib Pajak baru, dan mengakibatkan Wajib Pajak lain yang terkait aksi korporasi tersebut berakhir secara hukum;
b.KPP yang Wajib Pajaknya terkait dalam aksi korporasi berupa penggabungan dan peleburan usaha wajib melakukan koordinasi dengan KPP lain dimana Wajib Pajak lain yang terkait dalam aksi korporasi tersebut terdaftar;
c.KPP yang Wajib Pajaknya terkait dalam aksi korporasi berupa penggabungan dan peleburan usaha wajib mendapatkan akta notaris yang mendukung aksi korporasi tersebut;
d.KPP yang Wajib Pajaknya berakhir status hukumnya sebagai akibat aksi korporasi berupa penggabungan dan peleburan usaha wajib mengirimkan berkas penagihan atas Wajib Pajak tersebut kepada KPP lain yang Wajib Pajaknya tetap berdiri secara hukum atau kepada KPP lain tempat Wajib Pajak baru terdaftar sebagai akibat dari aksi korporasi tersebut.
C.Monitoring dan Bimbingan Kegiatan Penagihan oleh Kanwil DJP
1.Program Monitoring dan Bimbingan Kegiatan Penagihan
Dalam rangka optimalisasi pencapaian target pencairan piutang pajak Kanwil DJP wajib menyusun Program Monitoring dan Bimbingan Kegiatan Penagihan yang merupakan rencana kerja monitoring dan bimbingan kegiatan penagihan piutang pajak yang dilaksanakan oleh KPP selama satu tahun. Program monitoring dan Bimbingan Kegiatan Penagihan dibuat dengan menggunakan format pada Lampiran XI Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini. Program Monitoring dan Bimbingan Kegiatan Penagihan merupakan bagian dari Kertas Kerja Bimbingan Penagihan (KKBP).
Program monitoring dan bimbingan kegiatan penagihan dilaksanakan dengan langkah-langkah berikut :
a.Melakukan reviu atas Kertas Kerja Penagihan (KKP) yang dibuat oleh KPP. Reviu tersebut dituangkan dalam Kertas Kerja Reviu (KKR) dengan menggunakan format pada Lampiran XII Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini. Reviu atas Kertas Kerja Penagihan (KKP) dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam satu tahun;
b.Pelaksanaan reviu atas Kertas Kerja Penagihan (KKP) ditutup dengan Berita Acara Reviu dengan menggunakan format pada Lampiran XIII Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
c.Perbaikan terhadap Kertas Kerja Penagihan (KKP) dapat dilakukan berdasarkan hasil reviu oleh Kanwil DJP;
d.Membuat Daftar 100 Prioritas Penagihan Pajak berdasarkan Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak yang dibuat KPP dengan berpedoman pada Lampiran XIV Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini;
e.Daftar 100 Prioritas Penagihan Pajak disusun berdasarkan prioritas teratas dari Daftar Prioritas Tindakan Penagihan Pajak yang dibuat oleh KPP dengan proporsi pembagian yang seimbang;
f.Kanwil DJP menginstruksikan dan melakukan pengawasan secara intensif kepada KPP untuk melakukan tindakan penagihan secara optimal terhadap piutang pajak yang akan daluwarsa;
g.Melakukan pemantauan terhadap proses tindakan penagihan dan pencairan piutang pajak yang termasuk dalam Daftar 100 Prioritas Penagihan Pajak dan memberikan pendapat atas permasalahan yang dihadapi oleh KPP serta melakukan bedah profil Wajib Pajak tersebut;
h.Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tindakan penagihan oleh KPP terhadap piutang pajak yang Wajib Pajak/Penanggung Pajak-nya :
1)memiliki tingkat likuiditas keuangan tinggi (memiliki kemampuan membayar) atau piutang pajak memiliki kriteria lancar;
2)memiliki kemampuan membayar namun tidak kooperatif dalam pembayaran utang pajaknya. Dalam hal KPP bermaksud mengusulkan penyanderaan, maka terlebih dahulu Kanwil DJP melakukan penelitian atas usulan tersebut, untuk selanjutnya dilakukan pembahasan tindakan penyanderaan;
3)menunjukkan tanda-tanda kepailitan, dalam proses pailit, atau telah selesai proses kepailitannya; dan
4)menunjukkan tanda-tanda akan dilikuidasi/dibubarkan, atau dalam proses likuidasi/pembubaran.
i.Melaksanakan pengawasan melekat untuk mencegah terjadinya kesalahan prosedur atau penyalahgunaan wewenang dan jabatan dalam pelaksanaan tindakan penagihan;
j.Membuat standar kinerja Jurusita Pajak dalam pelaksanaan kegiatan penagihan aktif, yaitu penetapan jumlah tindakan penagihan minimal yang harus dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dalam tahun berjalan, meliputi jumlah :
1)Pemberitahuan Surat Paksa;
2)Pelaksanaan SPMP;
3)Pelaksanaan pemblokiran dalam rangka penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank;
4)Pelaksanaan lelang;
5)Pelaksanaan pencegahan Penanggung Pajak berpergian ke luar negeri; dan
6)Pelaksanaan penyanderaan.
Dalam menetapkan standar kinerja tersebut, Kanwil DJP perlu memperhatikan dan mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh seperti kuantitas Jurusita Pajak, karakter Wajib Pajak/Penanggung Pajak, kriteria kualitas piutang pajaknya, dan memperhatikan kondisi geografis setiap KPP di wilayah kerjanya;
k.Melakukan pemetaan atas jumlah Jurusita Pajak, jumlah pegawai KPP yang telah lulus pendidikan dan pelatihan (diklat) khusus Jurusita Pajak, dan kebutuhan Jurusita Pajak pada masing-masing KPP. Apabila terdapat KPP yang tidak memiliki Jurusita Pajak atau membutuhkan tambahan Jurusita Pajak, maka Kanwil DJP segera menginstruksikan KPP untuk mengangkat pegawai yang telah lulus diklat Jurusita Pajak menjadi Jurusita Pajak di seksi Penagihan dan mengusulkan diklat bagi pegawai yang memiliki kualifikasi sebagai Jurusita Pajak;
l.Memantau dan menyampaikan data/berita Wajib Pajak pailit yang ada di surat kabar melalui Portal Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dengan alamat http://10.254.12.23 menu Forum Penagihan Aktif agar bisa ditindaklanjuti oleh KPP dimana Wajib Pajak Pailit tersebut terdaftar.
2.Penyusunan Kertas Kerja Bimbingan Penagihan (KKBP)
Kanwil DJP wajib menyusun Kertas Kerja Bimbingan Penagihan (KKBP) yang merupakan induk program monitoring dan bimbingan kegiatan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh KPP. Kertas Kerja Bimbingan Penagihan (KKBP) disusun untuk mendokumentasikan setiap langkah monitoring dan bimbingan kegiatan penagihan.
Kertas Kerja Bimbingan Penagihan (KKBP) terdiri dari :
  1. Program Monitoring dan Bimbingan Kegiatan Penagihan
  2. Kertas Kerja Reviu (KKR)
  3. Berita Acara Reviu
  4. Prognosis Pencairan Piutang Pajak
  5. Rencana Kegiatan Penagihan
  6. Daftar 100 Prioritas Penagihan Pajak
III.Tertib Administrasi
A.Penataan Berkas Penagihan
Sebagai kesinambungan kebijakan penagihan sebelumnya, KPP berkewajiban untuk : 
1.Menyelesaikan penyediaan tempat/ruangan khusus untuk penyimpanan rumah berkas penagihan. Tempat/ruangan berkas tersebut setidaknya memenuhi standar penyimpanan antara lain terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama, serta dilengkapi dengan sistem pengaman seperti kunci lemari dan kunci ruangan. Bagi KPP yang belum mengalokasikan anggaran untuk penyediaan tempat/ruangan khusus dalam DIPA KPP Tahun 2012 wajib mengalokasikan anggaran untuk keperluan tersebut pada DIPA KPP Tahun 2013;
2.Menyelesaikan pembuatan rumah berkas penagihan per Wajib Pajak, yang masing-masing berisi dokumen asli berupa :
a.Seluruh surat ketetapan pajak, termasuk :
1)STP, STP PBB;
2)Keputusan/Putusan atas upaya hukum, yaitu :
a)Keputusan Keberatan;
b)Keputusan Pembetulan (Pasal 16 UU KUP);
c)Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan pengurangan dan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar (Pasal 36 UU KUP);
d)Putusan Banding;
e)Putusan Peninjauan Kembali;
f)Putusan Gugatan.
b.Seluruh bukti pembayaran tunggakan pajak dari Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang antara lain berupa :
1)Surat Setoran Pajak (SSP);
2)Surat Tanda Terima Setoran (STTS);
3)SSP PBB; dan
4)print out MPN/hasil konfirmasi bank.
c.Bukti Pemindahbukuan (Pbk);
d.Berkas/dokumen tindakan penagihan antara lain meliputi :
1)Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
2)Surat Teguran;
3)Surat Paksa;
4)Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa;
5)Laporan Pelaksanaan Surat Paksa;
6)Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
7)Berita Acara Pelaksanaan Sita;
8)Lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
9)Berkas Pemblokiran;
10)Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak;
11)Pemberitahuan Penyitaan Piutang;
12)Pencabutan Sita;
13)Permintaan Jadwal Waktu dan Tempat Pelelangan;
14)Berkas Pencegahan;
15)Berkas Penyanderaan.
e.Berkas/dokumen penagihan lainnya :
1)profil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada poin II.B angka 1 huruf c;
2)dokumen-dokumen pendukung terkait dengan seluruh tindakan penagihan aktif, diantaranya surat permintaan informasi kepada instansi pemerintah lainnya, surat kepada kurator, surat kepada pihak ketiga lainnya, dll;
3)data, informasi, dan dokumen-dokumen lain mengenai Wajib Pajak/Penanggung Pajak diantaranya copy akta pendirian perusahaan, print out informasi yang diperoleh dari internet, foto-foto aset milik Wajib Pajak/Penanggung Pajak, foto Wajib Pajak/Penanggung Pajak, dll.
fWajib Pajak PBB yang tidak mempunyai NPWP, dibuatkan rumah berkas tersendiri per Nomor Objek Pajak (NOP) dengan perincian berkas sesuai dengan huruf a s.d. e tersebut di atas. Berkas/dokumen yang tersimpan dalam rumah berkas tersebut di atas disusun sesuai dengan tahun pajaknya.
3.Melakukan scanning atas :
a.setiap kohir dalam bentuk image, kemudian diberi nama yang sama dengan nomor kohirnya, dan disimpan ke dalam CD. Setiap 1 (satu) CD hanya berisi kohir yang terbit pada tanggal dan tahun terbit yang sama;
b.setiap keputusan/putusan upaya hukum Wajib Pajak dalam bentuk image, kemudian diberi nama yang sama dengan nomor keputusan/putusan, dan disimpan kedalam CD. Setiap 1 (satu) CD hanya berisi 1 (satu) jenis putusan dari upaya hukum (misal hanya berisi "Keputusan Keberatan" saja atau hanya berisi "Putusan Banding" saja);
c.setiap tindakan penagihan dalam bentuk image, kemudian diberi nama yang sama dengan nomor surat tindakan penagihan, dan disimpan ke dalam CD. Setiap 1 (satu) CD hanya berisi 1 (satu) jenis tindakan penagihan (misal hanya berisi "Surat Paksa" saja atau hanya berisi "SPMP" saja).
4.Menyediakan lemari yang memadai untuk penyimpanan CD yang berisi softcopy hasil scanning kohir, putusan upaya hukum Wajib Pajak, dan dokumen tindakan penagihan sebagaimana tersebut pada angka 3;
5.Menunjuk petugas khusus di Seksi Penagihan sebagai penanggung jawab penyimpanan dan pengawasan arus keluar masuk dokumen/berkas/CD. Nama petugas penanggung jawab tempat/ruangan berkas disampaikan ke Kanwil DJP atasannya, demikian juga apabila terdapat pergantian petugas penanggung jawab tersebut.
Bagi KPP yang belum memiliki lemari/tempat berkas, scanner, dan sarana lainnya agar diusulkan dalam DIPA KPP. Apabila KPP mengalami kesulitan dalam pengadaan tersebut maka Kanwil diharapkan membantu pengadaannya, dengan mengalokasikannya melalui DIPA Kanwil DJP.
B.Penataan Kertas Kerja Penagihan (KKP)
1.Menyusun dan mengadministrasikan Kertas Kerja Penagihan (KKP) dengan rapi dalam 1 (satu) odner khusus sebagai dasar evaluasi dan monitoring tindakan penagihan piutang pajak;
2.Membuat Berita Acara Serah Terima Kertas Kerja Penagihan (KKP) dalam hal terjadi mutasi Kepala Seksi Penagihan dengan menggunakan format pada Lampiran XV Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
C.Laporan Rutin Piutang Pajak
Dalam upaya menyajikan informasi yang akurat pada setiap penyusunan laporan rutin penagihan, KPP dan/atau Kanwil DJP wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.Penyusunan Laporan Perkembangan Piutang Pajak
a.Dalam penyusunan Laporan Perkembangan Piutang Pajak memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1)Laporan Perkembangan Piutang Pajak wajib didukung dengan kertas kerja sebagaimana diatur dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-643/PJ.04/2011 tanggal 8 Juli 2011 tentang Panduan Penerapan SPI dalam Penyusunan Laporan Perkembangan Piutang Pajak;
2)Memperhatikan kesesuaian saldo antar bulan, kesinambungan, dan ketepatan waktu dalam penyusunan Laporan Perkembangan Piutang Pajak;
3)pengurang piutang yang berasal dari Surat Setoran Pajak (SSP) menggunakan data MPN sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-147/PJ/2007 tentang Pelaksanaan Modul Penerimaan Negara;
4)pengurang piutang yang berasal dari kompensasi utang pajak atau pemindahbukuan (Pbk) mengacu kepada Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak NomorPER-07/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2011 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak dan Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-1293/PJ.04/2011 tentang Penegasan Terkait Pengakuan atas Penambahan dan Pengurangan Piutang Pajak.
b.Untuk mendukung validitas dan keakuratan penyusunan Laporan Perkembangan Piutang Pajak, diminta kepada Kepala Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI) mengirimkan data pembayaran piutang pajak dari MPN untuk piutang selain PBB kepada Kepala Seksi Penagihan, dengan kode jenis setoran 3xx. Data MPN tersebut dikirim secara berkala setiap minggu. Apabila data MPN belum diterima dalam waktu yang ditentukan, Kepala Seksi Penagihan dapat bertindak proaktif dan meminta data dimaksud ke Seksi PDI;
c.Kepala Seksi Penagihan setelah menerima data MPN sebagaimana huruf b di atas, secara periodik melakukan rekonsiliasi data MPN tersebut dengan Nilai pengurang piutang pajak khususnya yang berasal dari SSP dalam Laporan Perkembangan Piutang Pajak;
d.Untuk mendukung validitas dan keakuratan penyusunan Laporan Perkembangan Piutang Pajak di tingkat KPP, diminta kepada Bidang Pengurangan Keberatan dan Banding di masing-masing Kanwil DJP agar setiap bulan menyampaikan data banding, keberatan dan non keberatan (pembetulan, pengurangan, penghapusan dan pembatalan) kepada Bidang Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak dan untuk selanjutnya ditindaklanjuti sebagaimana telah diuraikan dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-013/PJ.04/2012 tentang Instruksi Penurunan Data Banding, Keberatan dan Non Keberatan (pembetulan, pengurangan, penghapusan dan pembatalan) untuk Tujuan Penyusunan Laporan Keuangan Tahunan DJP Tahun Anggaran 2011.
2.Laporan Perkembangan Piutang dan Kegiatan Penagihan PBB
a.Dalam penyusunan Laporan Perkembangan Piutang dan Penagihan PBB memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1)sebagai dasar penyajian data piutang PBB Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) dalam laporan keuangan, nilai piutang akhir PBB P2 dalam Laporan Perkembangan Piutang dan Kegiatan Penagihan PBB adalah nilai piutang PBB P2 menurut negative list dalam basis data SISMIOP yang telah disesuaikan dengan data pengurangan dan penambahan yang belum tercatat dalam basis data SISMIOP;
2)termasuk dalam data pengurangan sebagaimana dimaksud pada angka 1) di atas, antara lain data penerimaan PBB baik berdasarkan MPN maupun BO III yang belum diketahui rincian STTS dan NOP-nya sehingga belum tercatat dalam basis data SISMIOP;
3)termasuk dalam data penambahan sebagaimana dimaksud pada angka 1), antara lain data penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) dan Surat Ketetapan Pajak (SKP) PBB P2 yang diterbitkan secara manual dan belum tercatat dalam basis data SISMIOP;
4)memperhatikan kesesuaian saldo antar bulan, kesinambungan, dan ketepatan waktu dalam penyusunan Laporan Perkembangan Piutang dan Kegiatan Penagihan PBB.
b.Dalam penyusunan Laporan Perkembangan Piutang dan Kegiatan Penagihan PBB, pengurang piutang yang berasal dari STTS/SSP PBB/PBB elektronik/Bukti Bayar Lainnya mengacu kepada data penerimaan PBB dalam Laporan Evaluasi Penerimaan yang dilaporkan oleh Seksi PDI;
c.Untuk tujuan menghasilkan data penerimaan PBB dalam Laporan Evaluasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas, diminta kepada Seksi PDI untuk membuat kertas kerja dan mengadministrasikan dokumen sumber penerimaan PBB dalam rangka melakukan pengawasan dan rekonsiliasi data penerimaan PBB melalui masing-masing Bank/Pos Tempat Pembayaran, MPN dan BO III;
d.Apabila terdapat perbedaan antara MPN dan BO III, diminta kepada Seksi PDI agar menindaklanjutinya sebagaimana diatur dalam Surat Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Nomor S-27/PJ.08/2012 tentang Tindak Lanjut Kegiatan Penyusunan Laporan Keuangan DJP terkait terkait Data Penerimaan PBB Tahun Anggaran 2011;
e.Seksi PDI setiap bulan meneliti perbedaan antara nilai pengurang piutang sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas dengan nilai pembayaran PBB yang tercatat dalam basis data SISMIOP untuk mengidentifikasi nilai penerimaan PBB yang belum tercatat dalam basis data SISMIOP. Terhadap penerimaan PBB yang diketahui rincian NOP dan STTS-nya tersebut agar ditindaklanjuti dengan pemeliharaan basis data dalam rangka pemutakhiran piutang PBB P2 yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ/2012 tentang Pemeliharaan Basis Data Pajak Bumi dan Bangunan Dalam Rangka Pemutakhiran Data Piutang Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan;
f.Khusus untuk piutang PBB P2 yang termasuk dalam Buku IV dan V, KPP wajib membuat kertas kerja sebagaimana format dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-642/PJ.04/2012 tanggal 1 Maret 2012 tentang Pembuatan Kertas Kerja Piutang PBB Khusus Buku IV dan V Sektor P2.
3.Penggolongan kualitas piutang pajak dan penghitungan penyisihan piutang pajak mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2012tentang Penggolongan Kualitas Piutang Pajak dan Cara Penghitungan Penyisihan Piutang Pajak;
4.Nilai kualitas piutang pajak, penyisihan piutang pajak yang tidak dapat ditagih dan nilai piutang pajak yang dilaporkan sebagai piutang daluwarsa dalam Laporan Umur, Kriteria Kualitas, Penyisihan, Usulan Penghapusan & Penghapusan Piutang Pajak (L-04.17) wajib didukung dengan kertas kerja penyisihan piutang pajak;
5.Kanwil DJP agar melakukan pelatihan/bimbingan teknis kepada pelaksana administrasi piutang pajak di KPP secara periodik agar pengetahuan dan kemampuan terkait dengan pengelolaan data piutang pajak untuk penyusunan laporan keuangan dapat ditingkatkan;
6.Kanwil DJP melakukan reviu administrasi piutang pajak atas laporan rutin penagihan pajak yang dilaporkan oleh KPP di lingkungan kerjanya setiap triwulan untuk memudahkan pelaksanaan rekonsiliasi piutang pajak per semester;
7.Kanwil DJP menyampaikan hasil reviu administrasi piutang pajak sebagaimana angka 5 (lima) di atas kepada Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan pada saat pelaksanaan rekonsiliasi piutang pajak per semester dengan mengacu pada format Laporan Reviu Administrasi Piutang Pajak dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-52/PJ.04/2012 tanggal 9 Januari 2012 tentang Persiapan Rekonsiliasi Piutang Pajak untuk Penyusunan Laporan Keuangan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak Tahun Anggaran 2011.
D.Penerbitan Kembali SKPKB, SKPKBT dan/atau STP
Dalam rangka persiapan pelaksanaan pemutakhiran data piutang, penerbitan kembali SKPKB, SKPKBT dan/atau STP terhadap ketetapan yang disampaikan melalui Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-281/PJ.04/2011 dan ketetapan yang memenuhi persyaratan untuk diterbitkan kembali agar diselesaikan.
E.Pemutakhiran Data Piutang
Dalam rangka Pemutakhiran Data Piutang Pajak :
1.Diminta kepada KPP untuk melakukan verifikasi terhadap akurasi piutang pajak yang terdapat dalam SIDJP/SIPMOD dan inventarisasi berkas pendukungnya sebelum pemutakhiran data piutang dilaksanakan sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-86/PJ/2012 tentang Pelaksanaan Pemutakhiran piutang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
2.Tim Pemeliharaan Basis Data PBB dalam Rangka Pemutakhiran Data Piutang PBB Sektor Perdesaan dan Perkotaan dan Seksi PDI harus memastikan seluruh penerimaan PBB P2 telah tercatat dalam basis data SISMIOP sesuai dengan kegiatan pemeliharaan basis data dalam rangka pemutakhiran piutang PBB P2 yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ/2012;
3.Kepala KPP memantau dan mengkoordinasikan kerja sama antar seksi dalam kaitannya dengan kebutuhan data dalam rangka terwujudnya proses akurasi data piutang tersebut.
F.Persiapan Pengalihan PBB Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
1.Persiapan Pengalihan PBB P2 dilakukan dengan sepenuhnya mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2011 tanggal 17 Desember 2011 tentang Tata Cara Persiapan Pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Sebagai Pajak Daerah dan aturan pelaksanaannya;
2.Dalam rangka meningkatkan keakuratan dan validitas data piutang PBB P2 serta memastikan kelancaran pada saat pengalihan piutang PBB P2 kepada pemerintah kabupaten/kota, diminta kepada KPP dan Kanwil DJP berkoordinasi dengan pihak pemerintah kabupaten/kota, Bank/Pos Tempat Pembayaran, Bank Persepsi, KPPN, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk melakukan pemeliharaan basis data dalam rangka pemutakhiran piutang PBB P2 sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ/2012.
G.Prosedur Migrasi Berkas Wajib Pajak Pindah
1.Dalam hal terdapat Wajib Pajak pindah, maka Kanwil DJP/KPP tetap harus memperhatikan prosedur administrasi untuk Wajib Pajak pindah dilakukan sesuai dengan Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan nomor S-14/PJ.045/2007 tanggal 25 Januari 2007 dan S-33/PJ.045/2008 tanggal 2 April 2008;
2.Khusus terhadap pemindahan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di bidang minyak dan gas bumi ke KPP khusus untuk pertambangan, maka KPP harus mempersiapkan berkas penagihan secara lengkap dan memperhatikan secara seksama rumusan dalam Kontrak Kerja Sama untuk memastikan pengakuan piutang pajak telah sesuai dengan undang-undang perpajakan yang diatur dalam KKS karena KKS tersebut khusus (lex specialis).
H.Pengawasan Ketetapan Mulai Tahun Pajak 2008 dan Seterusnya
Untuk mengantisipasi tidak terpantaunya nilai piutang yang disetujui namun belum dilunasi oleh Wajib Pajak pada saat jatuh tempo dan atau nilai yang tidak setujui yang belum dilunasi pada saat jatuh tempo pengajuan upaya hukum dan Wajib Pajak/Penanggung Pajak ternyata tidak mengajukan upaya hukum, maka sangat penting dilakukan pengawasan atas hal tersebut sebagaimana diatur dalam Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Nomor S-643/PJ.04/2011 tanggal 8 Juli 2011 tentang Panduan Penerapan SPI dalam Penyusunan Laporan Perkembangan Piutang Pajak.
1.KPP setiap bulan wajib melakukan hal-hal sebagai berikut :
a.Memantau dan mengawasi nilai yang disetujui oleh Wajib Pajak yang sudah jatuh tempo, namun belum ada pembayaran, untuk segera melakukan tindakan penagihan;
b.Memantau dan mengawasi upaya hukum yang tidak dilakukan oleh Wajib Pajak atas nilai yang tidak disetujui dalam hal jangka waktu pengajuan upaya hukum dimaksud sudah berakhir, untuk segera mempersiapkan dan melakukan tindakan penagihan;
c.Memantau dan mengawasi upaya hukum yang sedang/telah dilakukan oleh Wajib Pajak atas nilai yang tidak disetujui dalam hal jangka waktu pengajuan upaya hukum dimaksud masih berlaku, untuk tidak/belum melakukan tindakan Penagihan;
d.Untuk informasi daftar Wajib Pajak yang mengajukan banding dapat diperoleh secara lengkap pada situs Sekretariat Pengadilan Pajak dengan alamat www.setpp.depkeu.go.id pada menu berkas. Pencarian dapat dilakukan berdasarkan NPWP, nama Wajib Pajak, Jenis Pajak, dan Nomor Sengketa Pajak.
2.Kanwil DJP setiap bulan wajib melakukan hal-hal sebagai berikut :
a.Melakukan koordinasi dengan Bidang Pengurangan, Keberatan dan Banding untuk memperoleh data banding, keberatan dan non keberatan (pembetulan, pengurangan, penghapusan dan pembatalan);
b.Sesuai dengan data hasil koordinasi sebagaimana pada huruf a di atas, Kanwil DJP menyampaikannya ke Seksi Penagihan di masing-masing KPP yang bersangkutan untuk ditindaklanjuti; dan
c.Mengingatkan secara berkala pada semua KPP di wilayah kerjanya atas piutang-piutang tersebut di atas yang tidak terpantau dan/atau sudah jatuh tempo baik jatuh tempo pelunasan maupun jatuh tempo pengajuan upaya hukum untuk segera dilakukan tindakan penagihan.
IV.Evaluasi Kinerja Penagihan 
Sebagai salah satu bentuk konkret fungsi pengawasan dan koordinasi, Kanwil DJP wajib menyusun evaluasi dan analisis kinerja penagihan seluruh KPP di wilayah kerjanya setiap triwulan, dengan ketentuan sebagai berikut :
A.Terdiri dari 4 (empat) pokok bahasan sebagai berikut :
  1. Evaluasi Tertib Administrasi;
  2. Evaluasi Realisasi Pencairan Piutang Pajak;
  3. Evaluasi Kegiatan Penagihan; dan
  4. Evaluasi Penerbitan Kembali SKPKB, SKPKBT dan/atau STP.
B.Untuk evaluasi realisasi pencairan piutang pajak, kinerja yang akan dievaluasi adalah realisasi pencairan piutang atas ketetapan yang telah jatuh tempo dan sudah dilakukan tindakan penagihan;
C.Untuk evaluasi kegiatan penagihan, agar diberi keterangan atas tindakan penagihan yang telah dilakukan untuk piutang pajak yang sudah berumur lima (5) tahun atau lebih;
D.Evaluasi tersebut dibuat sesuai dengan format pada Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-36/PJ/2011 tentang Kebijakan Penagihan Pajak dan dikirimkan ke Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dalam bentuk softcopy maupun hardcopy setiap tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhir masing-masing triwulan.
Dari evaluasi dan analisis kinerja penagihan setiap KPP di bawahnya tersebut, maka Kanwil DJP dapat memantau, memetakan permasalahan, dan memberikan peringatan dan/atau bimbingan penagihan yang tepat, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk mendukung terlaksananya tujuan dan kebijakan penagihan secara efektif dan efisien.
V.Dukungan Penagihan
A.Koordinasi dengan Pihak-Pihak Terkait
1.Dalam hal terdapat permasalahan hukum terkait dengan pelaksanaan tindakan penagihan, KPP agar segera melakukan koordinasi dengan Kepala Seksi Bimbingan Penagihan dan Kepala Subbagian Bantuan Hukum dan Pelaporan di Kanwil DJP atasannya;
2.Dalam rangka pembuatan profil Wajib Pajak/Penanggung Pajak atau pengumpulan informasi lain terkait kemampuan membayar Wajib Pajak/Penanggung Pajak, maka Seksi Penagihan :
a.melakukan koordinasi dengan Seksi Pelayanan, Seksi Pemeriksaan, Seksi Pengawasan dan Konsultasi, fungsional pemeriksa dan Account Representative;
b.mengoptimalkan sistem informasi dalam pencarian data Wajib Pajak/Penanggung Pajak misalnya memanfaatkan menu DPO (Daftar Pencarian Orang) yang ada di Seksi Pelayanan.
c.meminta salinan SPT PPh Orang Pribadi/Badan, dalam hal Penanggung Pajak terdaftar pada KPP lain dalam rangka tindakan penagihan.
3.Dalam hal kebutuhan akan informasi upaya hukum maka perlu dilakukan koordinasi berkelanjutan dengan seksi Pelayanan di KPP dan bidang Pengurangan, Keberatan dan Banding di Kanwil DJP atasannya;
4.Dalam hal informasi umum maupun informasi lain yang lebih rinci, maka perlu dilakukan koordinasi berkelanjutan dengan seksi Pelayanan dan pihak Account Representative di seksi Pengawasan dan Konsultasi;
5.KPP dan Kanwil DJP meningkatkan koordinasi lokal/regional dengan instansi terkait untuk kelancaran kegiatan penagihan berdasarkan prinsip kebersamaan tugas, antara lain dengan berlandaskan Nota Kesepahaman (MoU) antara Direktorat Jenderal Pajak dengan instansi terkait, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 34 UU KUP.
B.Kebutuhan Sumber Daya Manusia
1.KPP agar mengalokasikan minimal 2 (dua) pegawai yang memiliki keahlian dalam pengolahan data untuk mendukung administasi piutang pajak dan pelaporan penagihan pajak termasuk pemberkasan;
2.Jumlah Jurusita Pajak minimal :
a.3 (tiga) orang untuk KPP di wilayah Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kanwil DJP Jakarta Khusus dan KPP Madya;
b.2 (dua) orang untuk KPP Pratama dengan memperhatikan luas wilayah kerja dan jumlah piutang.
3.Dalam hal terjadi mutasi Jurusita Pajak dan petugas administrasi piutang pajak, maka diwajibkan :
a.kepada Jurusita Pajak dan Petugas administrasi piutang pajak untuk membuat memori alih tugas;
b.kepada Petugas administrasi piutang pajak yang lama untuk memberikan pelatihan (transfer knowledge) kepada petugas administrasi piutang pajak yang baru.
4.Dalam hal terjadi mutasi Kepala Seksi Penagihan, Kertas Kerja Penagihan (KKP) merupakan bagian yang dimasukkan dalam memori alih tugas.
C.Seragam Jurusita Pajak
  1. Kanwil DJP menginstruksikan kembali kepada KPP di wilayahnya untuk mengadakan seragam Jurusita Pajak tahun 2012 dengan desain sebagaimana terdapat dalam Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-36/PJ/2011 dilengkapi dengan tanda pengenal khusus Jurusita Pajak Negara;
  2. KPP mengalokasikan dan merealisasikan anggaran dalam DIPA KPP tahun 2012 untuk biaya pengadaan 2 (dua) seragam Jurusita Pajak dan tanda pengenal untuk masing- masing Jurusita Pajaknya.
D.Biaya Penagihan
  1. KPP agar dapat mengalokasikan dana dari Biaya Koordinasi untuk mendukung pelaksanaan tindakan penagihan;
  2. KPP mengalokasikan biaya perjalanan dinas dalam rangka tindakan penagihan, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (5) dan ayat (10) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.05/2007 tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tetap.





Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal 11 Mei 2012
DIREKTUR JENDERAL,

ttd.

A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001


Tembusan :
  1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
  2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
  3. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumentasi Perpajakan.                


sumber: www.ortax.org

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India