Indahnya Berbagi

Senin, 18 Juni 2012

Penatausahaan Piutang PNBP


Penatausahaan Piutang PNBP (PER-85/PB/2011)

 Sehubungan dengan terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: PER-85/PB/2011 tanggal 05 Desember 2011 tentang Penatausahaan Piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pada pasal 2 perihal Ruang Lingkup Penatausahaan disebutkan bahwa:
1)    Penatausahaan piutang PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang diatur dalam Perturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini meliputi:
1.     Penatausahaan SPn, Surat Penagihan Kedua dan Surat Penagihan ketiga;
2.     Penatausahaan Surat Pemindahan Penagihan Piutang PNBP;
3.     Penatausahaan SKTL.
2)    Piutang PNBP yang diatur dalam peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini adalah Piutang PNBP yang diselesaikan sendiri oleh Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga.
3)    PNBP yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini adalah jenis PNBP yang berlaku umum di semua Kementerian Negara/Lembaga.
4)    Jenis PNBP yang berlaku umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi:
1.     Penerimaan pengembalian belanja;
2.     Penerimaan hasil penjualan barang/kekayaan negara;
3.     Penerimaan hasil penyewaan barang/kekayaan negara;
4.     Penerimaan hasil penyimpanan uang negara/jasa giro;
5.     Penerimaan ganti rugi atas kerugian negara (tuntutan ganti rugi dan tuntutan perbendaharaan);
6.     Penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah;
7.     Penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang; dan
8.     Penerimaan PNBP yang berlaku umum lainnya.

Pada pasal 3 perihal Prinsip Dasar disebutkan bahwa:
1)    Setiap Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga wajib melaksanakan penatausahaan piutang PNBP yang menjadi tanggungjawabnya.
2)    Penatausahaan  piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan agar setiap piutang PNBP dapat diselesaikan seluruhnya secara tepat waktu.

Pada pasal 4 perihal Unit Penatausahaan Piutang PNBP disebutkan bahwa:
1)    Dalam rangka melaksanakan penatausahaan piutang PNBP, Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga membentuk Unit Penatausahaan Piutang PNBP.
2)    Unit Penatausahaan Piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
1.     Unit Operasional;
2.     Unit Administrasi; dan
3.     Unit Pembukuan.
3)    Masing-masing Unit Penatausahaan Piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh satu atau beberapa petugas sesuai dengan besar kecilnya organisasi dan transaksi yang ditangani.
4)    Unit Penatausahaan Piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk setelah diketahui timbulnya piutang PNBP.
5)    Pembentukan Unit Penatausahaan Piutang PNBP ditetapkan dalam Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Satuan Kerja dan tidak terikat dengan tahun anggaran.

Pada pasal 5 dan pasal 6 perihal Penatausahaan Surat Penagihan (SPn) disebutkan bahwa:
1)    SPn wajib diterbitkan untuk setiap timbulnya piutang PNBP.
2)    Timbulnya piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila:
1.     Penyetoran penerimaan PNBP ditetapkan secara angsuran;
2.     Wajib bayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum melunasi penyetoran penerimaan PNBP yang menjadi tanggungjawabnya.
3)    Penerbitan SPn atas piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan dokumen-dokumen:
1.     Surat Keputusan Pembebanan Penggantian Kerugian Negara kepada bendahara;
2.     Surat Keputusan Pengenaan Ganti Kerugian Negara terhadap pegawai negeri bukan bendahara;
3.     Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum tentang Sewa Beli Rumah Negara;
4.     Surat Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan tentang Pembebanan Kerugian Negara kepada bendahara;
5.     Surat Keputusan Penghunian Rumah Dinas/Negeri atau Surat Izin Penghunian Rumah Dinas/Negeri yang diterbitkan pejabat yang berwenang;
6.     SKPP yang memuat adanya utang/sisa utang kepada negara;
7.     SPM/SP2D persekot gaji;
8.     Surat Keputusan mengenai pengembalian kelebihan belanja;
9.     Dokumen lain yang dapat mengakibatkan terjadinya piutang PNBP.
4)    SPn sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sebagai surat penagihan pertama.
5)    SPn diterbitkan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak timbulnya piutang PNBP sebagaimana ayat (2).
dan pada pasal 6 disebutkan bahwa:
Pembayaran Piutang PNBP secara angsuran dari Pegawai Negeri atau Pejabat Negara dilaksanakan dengan memperhitungkan piutang melalui pemotongan gaji.

Pada pasal 7 perihal Penatausahaan Kartu Piutang disebutkan bahwa:
1)    Piutang PNBP yang telah diterbitkan SPn harus dicatat dalam Kartu Piutang.
2)    Kartu Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat per SPn yang memuat paling kurang jumlah piutang, mutasi dan saldo piutang masing-masing pihak terutang.
3)    Petugas pada unit pembukuan melaksanakan  pencatatan piutang ke dalam Kartu Piutang berdasarkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (3), SPn, bukti setoran piutang atau bukti pemotongan piutang, SKTL atau Surat Keputusan Penghapusan Piutang dari Presiden/Menteri Keuangan dan dokumen lainnya yang menyebabkan perubahan posisi piutang PNBP.
4)    Kartu Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format sebagaimana lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan No: PER-85/PB/2011.

Pada pasal 8 perihal Penerbitan Surat Penagihan Kedua disebutkan bahwa:
1)    Setiap kewajiban penyetoran atas piutang PNBP sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran pada SPn yang belum diselesaikan penyetorannya, pihak terutang wajib diberikan Surat Penagihan Kedua.

Pada pasal 9 perihal Penerbitan Surat Penagihan Ketiga disebutkan bahwa:
1)    Dalam hal sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran setelah diberikan Surat Penagihan Kedua pihak terutang belum melakukan pembayaran, diterbitkan Surat Penagihan Ketiga sebagai surat penagihan terakhir.

Pada pasal 10 perihal Penyerahan Pengurusan Piutang PNBP disebutkan bahwa:
1)    Dalam hal sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran setelah diberikan Surat Penagihan Ketiga (terakhir), pihak terutang belum melakukan pembayaran, dilakukan penyerahan pengurusan piutang PNBP kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Pada pasal 11 perihal Penatausahaan Sewa Rumah Dinas Negeri disebutkan bahwa:
1)    Setiap penghunian rumah dinas/negeri diterbitkan SPn berdasarkan Surat Keputusan Penghunian Rumah Dinas/Negeri oleh pejabat yang berwenang, dengan memperhatikan  tarif yang telah ditetapkan.
2)    Dalam hal Surat Keputusan Penghunian Rumah Dinas/Negeri belum diterbitkan, sewa rumah dapat dipungut berdasarkan Surat Izin Penghunian Rumah Dinas/Negeri yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga.
3)    Pembayaran sewa rumah dinas/negeri dilaukan melalui pemotongan gaji oleh PPABP Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga bersangkutan.
4)    Setiap pembayaran sewa rumah dinas/negeri ditatausahakan dalam Kartu Piutang.
5)    Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga menyampaikan laporan pembayaran sewa rumah dinas/negeri kepada Menteri/Pimpinan Lembaga secara berjenjang.

Pada pasal 12 dan pasal 13 perihal Pemindahan Penagihan Piutang PNBP disebutkan bahwa:
1)    Apabila pegawai negeri yang masih memiliki tunggakan/kewajiban membayar utang kepada negara pindah Satuan Kerja, pengurusan penagihan piutang pegawai negeri dimaksud dipindahkan dari Satuan Kerja Lama ke Satuan Kerja Baru.
2)    Pemindahan pengurusan piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara menerbitkan Surat Pemindahan Penagihan Piutang PNBP .
dan pada pasal 13 disebutkan bahwa:
Sebelum menerbitkan Surat Pemindahan Penagihan Piutang PNBP, Satuan Kerja wajib melakukan konfirmasi kebenaran setoran piutang PNBP kepada KPPN atas setiap piutang PNBP yang dipindahkan.

Pada pasal 14 perihal Penatausahaan Piutang PNBP untuk Pegawai Pensiun disebutkan bahwa:
1)    Apabila pegawai negeri yang masih memiliki tunggakan/kewajiban membayar utang kepada negara telah memasuki batas usia pensiun, pelunasan piutang dilakukan paling lambat sebelum pembayaran gaji terakhir bersangkutan.
2)    Apabila pegawai negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat melunasi kewajiban pembayaran utang kepada negara, pelunasan piutang dilakukan:
1.     melalui pemotongan pembayaran pensiun pegawai bersangkutan atau
2.     disetor sendiri ke Kas Negara.
3)    Dalam hal penyelesaian piutang PNBP dilakukan melalui pemotongan pembayaran pensiun, Satuan Kerja menyampaikan surat pemberitahuan kepada cabang PT. Taspen (Persero) /PT. Asabri (Persero) yang menjadi tempat pembayaran uang pensiun pegawai yang bersangkutan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah penerbitan SKPP Pensiun.
4)    Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dengan:
1.     copy SKPP Pensiun pegawai yang bersangkutan;
2.     copy SPn pegawai yang bersangkutan.
5)    Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan lampiran pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sebagai dasar PT. Taspen (Persero) /PT. Asabri (Persero) dalam melakukan pemotongan uang pensiun.
6)    Cabang PT. Taspen (Persero) /PT. Asabri (Persero) paling lambat 2 (dua)  hari kerja setelah pemotongan, menyetorkan hasil pemotongan uang pensiun atas piutang PNBP ke Kas Negara.
7)    Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat digabung untuk setiap Satuan Kerja.
8)    Paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah penyetoran, cabang PT. Taspen (Persero) /PT. Asabri (Persero) melaporkan kepada Satuan Kerja penerbit SKPP Pensiun dilampiri dengan copy SSBP dan rincian per orang dalam hal penyetoran piutang digabungkan sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
9)    Berdasarkan laporan dari Cabang PT. Taspen (Persero) /PT. Asabri (Persero) sebagaimana dimaksud pada ayat(8), petugas pada unit pembukuan menatausahakan setoran piutang pada Kartu Piutang.

Pada Pasal 16 dan pasal 17 perihal Penerbitan SKTL disebutkan bahwa:
1)    Setiap penyelesaian/pelunasan piutang PNBP yang pembayarannya dilakukan tidak sekaligus atau secara angsuran, Satuan Kerja wajib menerbitkan SKTL (Surat Keterangan Tanda Lunas).
2)    Dalam hal penyelesaian/pelunasan piutang PNBP yang pembayarannya dilakukan sekaligus, SSBP dijadikan sebagai bukti pelunasan.
3)    Dalam rangka penerbitan SKTL, petugas pada unit Pembukuan Satuan Kerja wajib mengkonfirmasi kebenaran setoran piutang PNBP kepada KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara).
4)    Konfirmasi kebenaran setoran piutang PNBP dalam rangka penerbitan SKTL diatur sebagai berikut:
1.     Untuk piutang PNBP yang jangka waktu pembayarannya ditetapkan kurang dari 1 (satu) tahun, konfirmasi kebenaran atas setoran dilakukan sebelum penerbitan SKTL.
2.     Untuk piutang PNBP yang jangka waktu pembayarannya ditetapkan lebih dari 1 (satu) tahun, konfirmasi kebenaran atas setoran dilakukan setiap 1 (satu) tahun.
dan pada pasal 17 disebutkan bahwa:
1)    Tata cara penerbitan SKTL dilaksanakan sebagai berikut:
1.     Petugas pada Unit Pembukuan melakukan konfirmasi kebenaran setoran piutang PNBP apabila terdapat setoran piutang PNBP yang belum dikonfirmasi ke KPPN;
2.     Petugas pada Unit Pembukuan memberitahukan kepada petugas pada Unit Operasional atas piutang PNBP yang telah lunas dilampiri dengan:
1)    Asli dokumen transaksi;
2)    Hasil konfirmasi; dan
3)    Kartu Piutang.
1.     Petugas pada Unit Operasional melakukan pengujian dengan cara membandingkan dokumen transaksi, hasil konfirmasi dan catatan pada Kartu Piutang;
2.     Pengujian sebagaimana dimaksud pada huruf c, termasuk pengenaan denda dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran piutang;
3.     Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada huruf d dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan;
4.     Dalam hal terdapat perbedaan pencatatan data antara kartu piutang dengan hasil konfirmasi, data yang dipergunakan adalah data pembayaran piutang PNBP berdasarkan hasil konfirmasi;
5.     Berdasarkan dokumen transaksi, hasil konfirmasi dan Kartu Piutang, petugas pada Unit Operasional menerbitkan SKTL yang ditandatangani oleh Kepala Satuan kerja Kementerian Negara/Lembaga.
2)    SKTL dapat digunakan sebagai dasar pemindahan hak oleh pihak yang terutang.
3)    SKTL dibuat dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan:
1.     Lembar pertama disampaikan kepada yang bersangkutan;
2.     Lembar kedua sebagai pertinggal.
4)    SKTL diterbitkan sesuai dengan format lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan ini.

Pada pasal 20 perihal Ketentuan Peralihan disebutkan bahwa:
Terhadap setoran piutang PNBP sebelum tahun 2011 yang belum dikonfirmasi kebenarannya, Satuan Kerja mengajukan konfirmasi atas seluruh setoran piutang PNBP dimaksud kepada KPPN paling lambat 30 Juni 2012.

Pada pasal 21 disebutkan bahwa:
Dalam hal piutang PNBP berasal dari pendapatan Sewa Beli Rumah Negara Golongan III, pelaksanaan penatausahaan piutang PNBP termasuk penerbitan SKTL dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum cq. Direktorat Jenderal Cipta Karya sesuai peraturan perundang-undangan.

Akuntansi dan Pelaporan piutang PNBP berpedoman pada Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan No:PER-02/PB/2007 tentang Pedoman Penatausahaan dan Akuntansi Piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak.


Sumber: http://karya2011.wordpress.com/2012/03/03/penatausahaan-piutang-pnbp-per-85pb2011-2/

Kebijakan Pengurangan Pajak


Latar belakang

a.Mencermati fenomena kehidupan sosial masyarakat dewasa ini cukup memprihatinkan kita semua sebagai sesama anak bangsa, betapa tidak krisis multi dimensi yang melanda Indonesia sejak tahun 1998 yang lalu belum sepenuhnya berakhir, pada tahun 2008 telah muncul krisis baru yang dipicu krisis keuangan Amerika Serikat yang kemudian merambah keseluruh dunia, sehingga krisis ini lebih populer disebut krisis keuangan global. Dampak krisis ini tidak kalah dengan dampak krisis yang terjadi sebelumnya, baik pada skala makro maupun mikro, baik bagi Pemerintah, dunia usaha maupun bagi masyarakat.

b.Bagi masyarakat bawah, krisis ini akan semakin memperpuruk kondisi kehidupan mereka dan semakin mendorongnya kejurang kemiskinan yang semakin dalam, karena naiknya harga-harga kebutuhan pokok, menurunnya daya beli, kesempatan kerja yang semakin sempit, dan terjadinya PHK, akibat kolapsnya perusahaan-perusahaan atau industri.

c.Bagi masyarakat Jawa Timur khususnya, dampak krisis ini diperparah lagi dengan terjadinya bencana alam diberbagai daerah, seperti banjir, tanah longsor, lumpur Lapindo, angin puting beliung, dan gelombang air laut yang tinggi menyebabkan para nelayan tidak mampu mencari nafkah keluarganya. Bagi para petani, bencana banjir telah menghapuskan harapan mereka untuk memperoleh hasil panen yang melimpah. Bencana banjir dan tanah longsor juga telah merusak infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, bendungan/tanggul dan fasilitas publik lainnya.

d.Pada skala makro, dampak krisis keuangan global akan mengancam keberlanjutan pertumbuhan perekonomian Indonesia, sehingga Presiden SBY mengambil langkah-langkah antisipatif dengan menetapkan tujuh prioritas kebijakan dibidang perekonomian, meliputi: (a) melakukan upaya untuk mencegah pengangguran baru atau PHK, dan langkah-langkah penanggulangan apabila terjadi PHK, (b) melakukan upaya dan kebijakan yang meringankan dunia usaha termasuk insentif fiskal untuk mengamankan sektor riil, (c) mencegah inflasi yang tidak semestinya melalui stabilitasi harga dan meningkatkan daya beli masyarakat, (d) melindungi dan membantu masyarakat miskin agar dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan (e) menjaga ketahanan pangan dan ketahanan energi sehingga dapat memenuhi kebutuhan perekonomian tahun 2009 ;

e.Kebijakan stimulus fiskal yang dirancang Departemen Keuangan merupakan salah satu strategi antisipasi dampak krisis keuangan global. Skema kebijakan ini direncanakan melibatkan peran serta Pemerintah Daerah melalui instrumen pengurangan 50% dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) sebagai dasar penetapan PKB dan BBN-KB. Namun, rencana kebijakan ini ditolak oleh semua utusan Pemerintah Daerah pada Rapat Koordinasi Nasional Pendapatan Daerah Tahun 2009 di Ternate Maluku Utara, dengan beberapa alasan, diantaranya : (a) secara teknis, kebijakan ini tidak mempengaruhi struktur harga kendaraan, karena NJKB bukan komponen biaya terbesar dalam harga jual kendaraan bermotor, (b) Pemerintah Daerah sedang dan akan melaksanakan kebijakan penghapusan/pembebasan sanksi administrasi PKB dan BBN-KB sebagai bagian dari strategi stimulus fiskal di daerah ;

f.Terpilihnya Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Timur baru yang dipilih secara langsung oleh masyarakat merupakan tumpuan harapan masyarakat Jawa Timur untuk dapat memperbaiki kondisi masyarakat yang sedang terpuruk. Sementara pada sisi yang lain, Gubernur diberikan kewenangan untuk membantu masyarakat melalui instrumen kebijakan stimulus fiskal daerah atau insentif pajak daerah dalam bentuk kebijakan pembebasan atau pengurangan sanksi administrasi pajak daerah provinsi (PKB, BBN-KB dan P3ABT/AP).

g.Latarbelakang di atas menjadi dasar pertimbangan mengapa kebijakan pengurangan pajak untuk rakyat tahun 2009 menjadi sangat relevan dan urgen untuk dilaksanakan.


2. Maksud, Tujuan dan Manfaat

2.1. Maksud
Sebagai bagian dari strategi kebijakan stimulus fiskal melalui instrumen pajak daerah provinsi yang diintegrasikan dengan Program 100 Hari Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Timur yang baru dengan misi APBD untuk Rakyat. Sehingga, sinergitas kedua kebijakan ini secara tematik dinamakan kebijakan Pengurangan Pajak Untuk Rakyat Tahun 2009.

2.2. Tujuan
Membantu meringankan beban masyarakat, khususnya wajib pajak yang mengalami dampak krisis keuangan global yang menyebabkan menurunnya kemampuan masyarakat memenuhi kewajibannya membayar pajak, sekaligus bertujuan untuk mensukseskan Program 100 Hari Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Timur yang mempunyai keperdulian dan keberpihakan terhadap ketidakberdayaan masyarakat, termasuk masyarakat yang menjadi korban bencana alam yang melanda wilayah Provinsi Jawa Timur.

2.3. Manfaat Kebijakan
Pelaksanaan kebijakan ini diharapkan dapat memperoleh beberapa manfaat, baik manfaat dalam jangka pendek maupun jangka panjang, sebagai berikut :
1.Mendukung kebijakan Gubernur/Wakil Gubernur Jawa Timur untuk meringankan beban masyarakat yang sedang menghadapi dampak krisis dan bencana alam, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah Daerah;
2.Menekan jumlah piutang pajak daerah (tunggakan pajak) yang cenderung meningkat ;
3.Menjamin kepastian hak kepemilikan kendaraan bermotor;
4.Meningkatkan akurasi database kendaraan bermotor ;
5.Meningkatkan tertib administrasi pengelolaan pajak daerah ;
6.Mendorong masyarakat memenuhi kewajibannya membayar pajak sebelum jatuh tempo masa pajaknya ;
7.Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat serta optimalisasi semua jenis layanan unggulan Samsat yang ada ;
8.Meningkatkan potensi pajak untuk tahun berikutnya, sehingga kontribusi penerimaan PAD akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang.


3. Dasar Hukum Pengurangan Pajak

1.Dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Pada Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 34 Tahun 2000 menyebutkan bahwa jenis-jenis pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi adalah : (a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB/PKAA); (b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB/BBNKAA); (c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); dan (d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3BAT/AP). Selanjutnya pada pasal 4 ayat (1) dan (3) mengamanatkan bahwa Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dan sekurang-kurangnya mengatur nama, objek, dan subjek pajak, dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak, wilayah pemungutan, masa pajak, penetapan, tata cara pembayaran dan penagihan, kadaluwarsa, sanksi administrasi, tanggal mulai berlakunya. Kemudian pada pasal 75 PP Nomor 65 Tahun 2001 menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan pemungutan pajak ditetapkan oleh Kepala Daerah.

2.Pasal-pasal yang mengatur kewenangan penghapusan dan atau pengurangan pajak daerah diatur pada Pasal 4 ayat (4) huruf (a) UU Nomor 18 Tahun 1997 juncto UU Nomor 34 tahun 2000 yang menegaskan bahwa Peraturan Daerah tentang pajak dapat mengatur ketentuan mengenai pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya.

3.Berdasarkan amanat UU dan PP tersebut diatas, maka sebagai dasar pelaksanaan pemungutan di Provinsi Jawa Timur telah diterbitkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2001 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Kedua Perda ini dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 53 Tahun 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 54 Tahun 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 14 Tahun 2001 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

4.Pada pasal 22 ayat (2) hutuf (b) Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa kenaikan dan bunga PKB yang terutang menurut Peraturan Perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikarenakan kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. Kemudian, pada pasal 21 ayat (2) huruf (b) Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2001 menyebutkan bahwa Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa kenaikan dan bunga BBNKB yang terutang menurut Peraturan Perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikarenakan kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.

4. Konsep Kebijakan Pengurangan Pajak

Pengurangan Pajak Untuk Rakyat adalah kebijakan dibidang pajak daerah provinsi dalam bentuk pembebasan sanksi administrasi dan pengurangan pokok pajak (discount) kepada masyarakat (wajib pajak), meliputi :

4.1. Jenis-jenis Pengurangan Pajak
1.Pembebasan seluruh sanksi administrasi (denda dan bunga) atas keterlambatan pendaftaran dan/atau keterlambatan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) ;

2.Pembebasan pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) atas penyerahan kedua dan seterusnya (BBN II);

3.Pembebasan seluruh sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT/AP);

4.Pengurangan (discount) pokok PKB sebesar 2% (dua persen) terhadap pembayaran yang dilaksanakan Wajib Pajak sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari sebelum masa pajaknya berakhir.


4.2. Sasaran Kebijakan Pengurangan Pajak
1.Pembebasan sanksi administrasi PKB dan BBN-KB diberikan kepada seluruh masyarakat (wajib pajak) yang memiliki kendaraan bermotor roda 2 (dua) maupun roda 4 (empat), termasuk alat-alat berat dan kereta gandeng/tempel, kendaraan pribadi (plat hitam) maupun kendaraan umum (plat kuning) yang mempunyai piutang pajak berupa denda dan bunga yang belum dibayar sampai dengan 30 Juni 2009;

2.Pembebasan pengenaan BBN II diberikan kepada seluruh masyarakat (wajib pajak) yang memiliki kendaraan bermotor roda 2 (dua) maupun roda 4 (empat), termasuk alat-alat berat dan kereta gandeng/tempel, kendaraan pribadi (plat hitam) maupun kendaraan umum (plat kuning) yang kepemilikannya terjadi dan didaftarkan sampai dengan 30 Juni 2009;

3.Pembebasan sanksi administrasi P3ABT/AP kepada seluruh masyarakat (wajib pajak) P3ABT/AP yang mempunyai piutang pajak berupa denda belum dibayar sampai dengan tanggal 30 Juni 2009.

4.Pengurangan pokok PKB sebesar 2% (dua persen) diberikan kepada seluruh masyarakat (wajib pajak) yang memiliki kendaraan bermotor roda 2 (dua) maupun roda 4 (empat), termasuk alat-alat berat dan kereta gandeng/tempel, kendaraan pribadi (plat hitam) maupun kendaraan umum (plat kuning) yang melaksanakan pembayaran PKB sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kelender dihitung hari sebelum berakhirnya masa pajak yang berlaku sampai dengan 30 Juni 2009.


4.3. Waktu pelaksanaan
Waktu pelaksanaan kebijakan berlaku efektif selama 3 (tiga) bulan, mulai tanggal 1 April 2009 sampai dengan 30 Juni 2009.


5. Analisis Dampak Kebijakan
Pelaksanaan Kebijakan ini akan berdampak pada berbagai aspek, baik penerimaan dan piutang pajak (tunggakan), sisdur perpajakan dan pelayanan, penyediaan logistik (SKPD, STNK, TNKB), maupun sistem informasi dan telekomunikasi serta koordinasi dan sosialisasi.

5.1. Dampak terhadap penerimaan
Dari sisi penerimaan, kebijakan ini mengangandung dua konsekuensi, dimana pada satu sisi akan mengurangi potensi penerimaan, karena berkurangnya penerimaan sanksi administrasi berupa denda dan bunga PKB, BBN-KB, P3ABT/AP dan penerimaan BBN II, serta pengurangan pokok PKB, namun pada sisi yang lain kebijakan ini akan meningkatkan penerimaan, terutama bersumber dari pencairan pokok PKB, BBN-KB dan P3ABT. Seberapa besar penerimaan yang berkurang dan penerimaan yang bertambah dari kebijakan ini dapat dicermati dari hasil simulasi perhitungan yang ditunjukkan dengan tabel dibawah ini.

TABEL 1
TREND PENERIMAAN YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN SANKSI ADMINISTRASI PKB DAN BBN-KB TAHUN 2001-2008
(dalam rupiah)
NO. TAHUN ANGGARAN SANKSI
DENDA SANKSI BUNGA JUMLAH RATA-RATA PERBULAN

[1] [2] [3] [4] [5]= [3+4] [6]
1 2001 13.497.519.365 622.566.595 14.120.085.960 1.176.673.830
2 2002 16.780.674.040 817.833.700 17.598.507.740 1.466.542.312
3 2003 14.193.348.230 749.119.831 14.942.468.061 1.245.205.672
4 2004 31.414.513.808 1.985.258.391 33.399.772.199 2.783.314.350
5 2005 32.532.777.563 2.696.758.610 35.229.536.173 2.935.794.681
6 2006 37.436.828.804 3.508.318.594 40.945.147.398 3.412.095.616
7 2007 45.681.110.496 5.180.813.381 50.861.923.877 4.238.493.656
8 2008 63.038.554.563 5.818.812.980 68.857.367.543 5.738.113.961


Dari Tabel 1 dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
a.Penerimaan kas yang bersumber dari sanksi administrasi berupa denda dan bunga jumlahnya cukup besar dan setiap tahun menunjukkan kecenderungan semakin meningkat.

b.Dilihat dari struktur penerimaan, bagian terbesar (90%) bersumber dari penerimaan sanksi denda, selebihnya (10%) berasal dari sanksi bunga. Hal ini dapat dipahami, karena sanksi denda dikenakan 25% setiap terjadi keterlambatan pembayaran, sedangkan sanksi bunga hanya dikenakan 2% setiap bulan atas setiap keterlambatan pembayaran dalam jangka waktu 30 hari, yang berlaku maksimal 15 bulan.

c.Apabila dicermati dari trend pertumbuhan selama delapan tahun, telah terjadi peningkatan hampir 5 (lima) kali lipat, yaitu sebesar 487,65% atau rata-rata setiap tahun terjadi pertumbuhan 60,96%.

d.Meningkatnya penerimaan dari sanksi administrasi pada dasarnya bukan kondisi yang diharapkan dalam pemungutan pajak daerah, karena peningkatan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kurang patuh memenuhi kewajibannya membayar pajak, sehingga dikenakan sanksi yang berarti pula menambah beban tambahan bagi keuangan masyarakat.

e.Dengan menggunakan asumsi penerimaan sanksi rata-rata setiap bulan tahun 2008 sebesar Rp. 5.738.113.961, maka kebijakan pengurangan pajak untuk rakyat Tahun 2009 yang berlaku selama 3 (tiga) bulan akan mengurangi penerimaan sebesar Rp. 17.214.341.883. Namun pada sisi yang lain, kebijakan ini akan meningkatkan penerimaan yang bersumber dari Pokok PKB dan BBN-KB yang terhutang sebesar Rp. 59.169.910.967


Dari Tabel 2 dapat disimpulkan :
Pelaksanaan kebijakan pengurangan pajak untuk rakyat tahun 2009 tidak mengurangi realisasi penerimaan kas, bahkan sebaliknya dapat meningkatkan penerimaan kas selama tiga bulan sebesar Rp. 14.117.890.667. Artinya, kebijakan pengurangan pajak tidak hanya bermanfaat untuk meringankan beban masyarakat Jawa Timur, tetapi juga dapat meningkatkan PAD Provinsi Jawa Timur.

5.2. Dampak terhadap sisdur administrasi

Kebijakan pengurangan pajak merupakan salah satu bentuk intervensi kebijakan pemerintah tidak hanya menyentuh ranah publik atau kepentingan masyarakat luas (wajib pajak), tetapi juga membawa konsekuensi internal terhadap pengelolaan sisdur administrasi perpajakan. Oleh karena itu, perlunya pengelolaan sisdur administrasi yang lebih tertib, teratur, dan efisien, baik pendataan objek dan subyek pajak, penentuan piutang pajak, pembukuan dan pelaporan pajak berdasarkan standar akuntansi, maupun sistem penagihan pajak.

5.3. Dampak terhadap penyediaan logistik
Berdasarkan pengalaman sebelumnya bahwa kebijakan pengurangan pajak akan mendorong masyarakat secara masal melakukan pendaftaran kendaraan bermotor dan pembayaran pajak yang telah melewati jatuh tempo (menunggak), termasuk melakukan bea balik nama atas kendaraan bermotor yang sebelumnya masih nama orang lain. Dampaknya adalah kebutuhan akan blanko/formulir SKPD, STNK dan TNKB akan meningkat di atas kebutuhan rata-rata. Kondisi ini perlu diantisipasi dengan menyediakan blanko/formulir lebih banyak agar tidak mengalami kekurangan, seperti yang terjadi pada pelaksanaan kebijakan pengurangan pajak tahun 2007. Penyediaan blanko/formulir SKPD merupakan kewenangan Dipenda, sedangkan blanko STNKB dan TNKB merupakan kewenangan Ditlantas Polda Jawa Timur, sehingga perlu koordinasi dengan pihak Ditlantas untuk mempersiapkan blanko tersebut.

5.4. Dampak terhadap sistem informasi dan telekomunikasi
Sistem informasi dan telekomunikasi pelayanan Samsat merupakan tumpuan harapan untuk mendukung keberhasilan kebijakan pengurangan pajak. Meningkatnya volume transaksi akan berdampak terhadap beban sistem yang semakin meningkat. Meningkatnya beban sistem menentukan kecepatan akses dan transfer atau komunikasi data, sehingga sampai batas tertentu akan terjadi overload yang menyebabkan terjadinya berbagai gangguan, seperti terjadinya kemacetan (hang-up), jaringan komunikasi sering putus (disconnect), dan response time meningkat. Kondisi ini berpotensi menyebabkan terjadinya antrian atau penumpukan wajib pajak di loket-loket yang pada umumnya disertai dengan kekecewaan dan hujatan atas pelayanan yang diberikan petugas pelayanan Samsat.

5.5. Dampak terhadap koordinasi
Kebijakan pengurangan pajak, meskipun secara teknis merupakan tanggungjawab Dipenda, tetapi pelaksanaannya melibatkan pihak-pihak terkait, seperti Ditlantas Polda Jawa Timur dan jajarannya, PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Timur dan jajarannya, serta Pemkab/Pemkot. Oleh karena itu, untuk mensukseskan kebijakan ini kemampuan koordinasi menjadi sangat penting dan menentukan untuk mendukung keberhasilan kebijakan ini, baik koordinasi yang dilakukan antar pimpinan di tingkat provinsi maupun koordinasi yang dilakukan Ka UPTD di tingkat Kabupaten/Kota.

6. Tahapan Pelaksanaan Kebijakan
Kebijakan Pengurangan Pajak Untuk Rakyat Tahun 2009 sangat diharapkan dapat berjalan efektif, efisien, transparan dan akuntabel serta dilandasi dengan kepastian hukum. Untuk itu perlu disusun tahapan proses sebagai pedoman bagi pelaksana, sebagai berikut :

6.1. Tahap Persiapan/Perencanaan
Beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum kebijakan diimplementasikan, sebagai berikut :

1.Menyusun proposal kebijakan untuk mendapat persetujuan dan pengesahan pimpinan. Proposal kebijakan memuat antara lain latarbelakang, maksud dan tujuan serta manfaat kebijakan, landasan hukum, rancangan kebijakan, analisis dampak kebijakan serta tahapan proses pelaksanaan.

2.Menyusun kelengkapan administrasi, antara lain :
a.Surat Kadis kepada Gubernur ;
b.Surat Gubernur kepada Komisi C DPRD Provinsi Jawa Timur ;
c.Surat Gubernur kepada Menteri Keuangan cq. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Ditjen Perimbangan Keuangan ;
d.Rancangan Paraturan Gubernur ;
e.Surat Kadis kepada Dirlantas Polda Jawa Timur ;
f.Surat Kadis kepada Kepala PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang Jawa Timur ;
g.Rancangan Keputusan Kepala Dinas tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Gubernur ;
h.Surat Kadis kepada Ka UPTD seluruh Jawa Timur ;
i.Menyusun materi untuk press release Kepala Dinas;
j.Membuat nota dinas kepada Bidang Pengembangan Sistem Informasi dan Pengolahan Data Pendapatan agar membuat Sistem untuk mendukung pelaksanaan pengurangan PKB, BBNKB dan P3ABT/AP dengan format laporan sebagaimana terlampir.

3.Melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi, baik secara internal maupun eksternal;

4.Melaksanakan rapat konsilidasi dengan seluruh pelaksana (KaUPTD) sekaligus mensosialisasikan konsep sosialisasi kepada masyarakat agar kebijakan ini dapat berhasil mencapai sasaran seperti yang diharapkan;

5.Menghitung kebutuhan biaya yang diperlukan untuk sosialisasi dan kegaiatan instalasi program aplikasi, serta kegiatan monitoring dan evaluasi;

6.Mempersiapkan dan mendistribusikan kebutuhan blanko SKPDKB ;

7. Mempersiapkan format blanko/formulir laporan sebagai alat untuk monitoring dan evaluasi ;

8.Menyusun sistem dan program aplikasi komputer ;

9.Monitoring kesiapan sistem komunikasi / sistem jaringan;

10.Melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat oleh seluruh UPTD dan Dinas dengan menggunakan berbagai media informasi, baik menggunakan media konvensional seperti brosur, famplet, stiker, spanduk, memanfaatkan sarana Samsat Keliling, maupun menggunakan media modern seperti telp/HP (SMS), internet (website dipenda), radio (radio SS untuk surabaya), dan media televisi (apabila tersedia biaya) menggunakan TVRI atau JTV melalui acara seperi suara publik atau cangru’an.

6.2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan, beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan, antara lain :

1.Instalasi program aplikasi komputer ;

2.Press Release Kepala Dinas dengan mengundang wartawan media lokal maupun nasional ;

3.Pelaksanaan kebijakan pengurangan pajak secara serentak diseluruh Jawa
Timur, mulai tanggal 1 April 2009 sampai dengan 30 Juni 2009.

6.3. Tahap Monitoring dan Evaluasi
Tahap ini merupakan tahapan untuk menilai dan mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan kebijakan pengurangan pajak. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan, antara lain :

1.Monitoring perkembangan penerimaan kas dengan melakukan peninjauan langsung kelapangan atau dengan menggunakan laporan sesuai dengan format laporan yang telah disediakan ;

2.Monitoring permasalahan yang dihadapi dilapangan ;

3.Mengevaluasi seluruh kegiatan, termasuk tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan dilapangan.
4.Melaporkan hasil monitoring dan evaluasi kepada Bapak Kepala Dinas dan Bapak Gubernur Jawa Timur.

6.4. Tahap Penyusunan Ketentuan Biaya
1.Kegiatan Press Release;

2.Rapat dengan para KUPTD, Adpel dan Opdat serta Kasi Penagihan;

3.Biaya pembuatan program;

4.Biaya instal program;

5.Pekerjaan volume pada Bidang Pajak Daerah dan Bidang Pengembangan Sistem Informasi dan Pengolahan Data Pendapatan;

6.Biaya koordinasi dengan Biro Hukum, Ajudan, Dirlantas dan jajarannya;

7.Biaya pemantauan lapangan setiap bulan

STP Bunga Penagihan


STP BUNGA PENAGIHAN
Proses penagihan pajak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh fihak Ditjen Pajak agar Wajib Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Utang pajak di sini adalah pajak sebagaimana tercantum dalam dokumen-dokumen yang menjadi dasar penagihan pajak. Dokumen-dokumen tersebut adalah :
  • Surat Tagihan Pajak (STP)
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
  • Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
  • Surat Keputusan Pembetulan
  • Surat Keputusan Keberatan
  • Putusan Banding, dan
  • Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
Sesuai dengan Pasal 9 ayat (3) UU KUP, masing-masing dokumen-dokumen pajak tersebut harus dilunasi satu bulan sejak tanggal diterbitkan. Dengan kata lain, tanggal jatuh tempo dokumen-dokumen pajak tersebut adalah satu bulan sejak tanggal diterbitkan. Apabila utang pajak yang tercatum dalam dokumen-dokumen tersebut tidak dilunasi dalam jangka waktu satu bulan, maka proses penagihan pajak mulai berjalan. Salah satu proses yang dilakukan oleh fihak aparat pajak adalah dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) Bunga Penagihan untuk menagih bunga atas utang pajak yang tidak/kurang/terlambat dibayar.
Berdasarkan Pasal 19 UU KUP, STP Bunga Penagihan ini diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut :
Pertama
Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh :
Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2011, dengan batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2011. Jumlah pembayaran sampai dengan tanggal 6 November 2011 Rp6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2011 diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar = Rp10.000.000,00, dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan = Rp  6.000.000,00 sehingga masih kurang kurang dibayar = Rp  4.000.000,00. Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00) = Rp   80.000,00.
Kedua
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh :
Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp1.120.000,00 yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2011 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1 Februari 2011. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut: angsuran ke-1 : 2% x Rp1.120.000,00 = Rp22.400,00.
angsuran ke-2 : 2% x Rp896.000,00 = Rp17.920,00.
angsuran ke-3 : 2% x Rp672.000,00 = Rp13.440,00.
angsuran ke-4 : 2% x Rp448.000,00 = Rp8.960,00.
angsuran ke-5 : 2% x Rp224.000,00 = Rp4.480,00.
Ketiga
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India